Download aplikasi Takwa di Google Play Store

Urgensi Refleksi Akhir Tahun bagi Seorang Muslim

Urgensi Refleksi Akhir Tahun bagi Seorang Muslim

Tidak dapat dinafikan bahwa akhir suatu perkara adalah buah dari apa yang telah berlalu dari kerja keras, kesungguhan dan keringat letih untuk sebuah tujuan. Akan tetapi apakah cukup sampai titik ini? Nyatanya tidak, setelah semua itu Islam mengajarkan umatnya untuk berdoa agar diberikan akhir yang baik (husnul khitam). Dalam sebuah pepatah arab disebutkan innama al a’malu bil khawatim, yang artinya sesungguhnya pekerjaan hanya dinilai dari akhirnya. Maka dalam rangka syukur kepada Allah Swt seorang muslim dapat mencanangkan sebuah refleksi akhir tahun untuk mentadaburi lagi nikmat-nikmat Allah Swt yang telah dianugerahkan untuknya.

Dalam perspektif agama khususnya Islam, refleksi dapat kita terjemahkan menjadi “membaca ulang” ayat-ayat Allah Swt dalam menyikapi kehidupan. Dalam konteks ini tentunya waktu 365 hari bukanlah masa singkat bagi seseorang untuk bercermin dari kehidupannya, dalam kurun waktu itu seorang bisa saja meraih prestasi atau terjerumus dalam jurang kegagalan, sehat bugar dalam kegiatan atau tergeletak di dipan rumah sakit karena sebuah penyakit. Tidak juga terbatas pada sudut pandang internal dalam diri, lebih luas lagi seorang muslim perlu melihat kondisi sosial di sekelilingnya agar ia mendapatkan sebuah pelajaran. Tentu, inti dari prosesi refleksi akhir tahun adalah untuk mendapatkan pelajaran.

Dalam kaitannya dengan permasalahan ini, Allah Swt berfirman dalam QS Al Hasyr ayat 18:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

 

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

 

Install Takwa App

Refleksi akhir tahun sebagai sebuah keberkahan hidup

Hal pertama yang perlu disyukuri adalah masih terdetiknya keinginan untuk merefleksikan perbuatan yang telah lalu. Bukan dengan niat meratapi dan menyesali kegagalan atau dengan membanggakan pencapaian sejarah yang telah lalu, akan tetapi dengan kesadaran pribadi yang mendambakan makna hidup yang berselaras pada nilai ketuhanan. Ayat dari QS Al Hasyr 18 sebelum ini menyatakan secara gamblang bahwa melihat ke belakang untuk sebuah evaluasi kehidupan amatlah penting untuk menyambut hari esok.

Imam As Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini merupakan prinsip dari muhasabah nafs, yaitu introspeksi diri. “Dan perlu seseorang untuk melakukannya, apabila ia melihat sebuah alfa dalam perbuatan maka ia segera menghindari dan bertaubat serta dilanjutkan dengan menghingdari faktor-faktor yang membawanya ke hal tersebut. Dan apabila ia kurang maksimal dalam menjalankan perintah Allah Swt  ia bertekad untuk menambah power ibadah dengan tetap meminta kekuatan pada Tuhannya dalam kelengkapan, kesempurnaan, dan keprofesionalitasannya. Dan selalu menimbang antara anugerah yang telah diberikan Allah Swt dan keterbatasannya dalam berbuat, dengan itu ia perlu malu atas Tuhannya.”

Menurut interpretasi dari Imam As Sa’di tadi, Sebagai agama, Islam menuntun umatnya untuk menjalani kehidupan dengan maksimal. Dalam hal ini yaitu dengan cara perencanaan yang matang, pelaksanaan yang profesional dan terukur serta selalu melakukan introspeksi atau evaluasi akan apa yang telah dikerjakan. Dalam penerapannya, metode ini dapat dilaksanakan dalam lingkup terbatas seperti pribadi atau keluarga, maupun ranah yang lebih luas seperti korporasi atau lembaga pemerintahan. Sebagaimana sabda dari Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Thabrani:

إن الله يحب إذا عمل أحدكم عملا أن يتقنه

“sesungguhnya Allah menyukai apabila hambanya mengerjakan sesuatu dengan cara profesional.”

Baca juga: Qudrah, Semua Ada dan Tiada Karena Dia

Untuk menutup catatan singkat ini, penulis akan mencatut sebuah puisi yang dikarang oleh Imam Syafii tentang hari yang telah lalu dan langkah yang perlu dilakukan untuknya:

دَعِ الأَيّامَ تَفعَلُ ما تَشاءُ

Tinggalkan lah hari-hari yang telah lalu dan berbuatlah sesuka mu

وَطِب نَفساً إِذا حَكَمَ القَضاءُ

Dan tenanglah jiwa jika sedang kau hadapi ketentuan Tuhan

وَلا تَجزَع لِحادِثَةِ اللَيالي

Dan jangan lah terhimpit oleh perkara-perkara yang telah lalu

فَما لِحَوادِثِ الدُنيا بَقاءُ

Karena perkara-perkara itu tidak lah lama kan bertahan

وَكُن رَجُلاً عَلى الأَهوالِ جَلداً

Dan jadilah seorang perkasa akan sebuah permasalahan

وَشيمَتُكَ السَماحَةُ وَالوَفاءُ

dan sikap mu tetap toleran dan amanah

 

Wallahua’lam bishowab

_

 

Penulis:

Albi Tisnadi Ramadhan,

Sedang menempuh studi di Universitas Al Azhar, Kairo. Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab.

 

Editor:

Azman Hamdika Syafaat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *