Di antara sumber kekacauan yang terjadi di muka bumi adalah hilangnya sikap toleransi pada umat manusia. Dalam kondisi seperti ini manusia tidak siap untuk hidup dalam keberagaman dunia dengan segala perbedaannya. Pada dasarnya sifat toleransi bisa ditumbuhkan dari kesadaran bahwa umat manusia diciptakan berbeda satu sama lainnya. Mulai dari hal yang paling mendasar seperti bagaimana mereka diciptakan seperti warna kulit, ras dan bahasa. Hingga bagaimana lingkungan membentuk kepribadian seseorang sehingga mereka memiliki identitas tertentu seperti agama dan ideologi yang dianut.
Al Quran juga mengamininya segala perbedaan tersebut, sebagaimana termaktub dalam surat Al Hujurat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.
“Wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan kami jadikan kalian berbangsa dan berkabilah agar kalian saling mengenal, sesungguhnya yang termulia dari kalian bagi Tuhan kalian adalah yang paling bertakwa di antara kalian. sesungguhnya Allah Swt maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”
Di dalam Islam sesuatu bermula dari hal yang terdekat dan dari lingkup sosial yang terkecil. Begitupun dalam mendidik nilai-nilai toleransi, Islam mendahulukan keluarga sebagai batu loncatan pertamanya. Allah Swt berfirman dalam surat At Tahrim ayat 6 yang berarti: Wahai orang-orang yang beriman jaga lah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka. Sejak dari kecil, sebuah keluarga dalam hal ini orang tua perlu menjadi role modele terbaik dalam sebuah rumah tangga untuk mempermisalkan nilai-nilai toleransi pada seluruh anggota keluarga.
Kedua orang tua haruslah memahami bahwa mereka adalah komponen terkecil dari entitas peradaban sebuah masyarakat. Nilai-nilai seperti menghargai pendapat orang lain, menghormati kepercayaan orang lain dan tidak memaksakan kehendak pribadi kepada orang lain haruslah diajarkan kepada anak sejak dini. Jika sang anak sudah terbiasa dengan nilai-nilai toleransi di dalam rumah maka orang tua dianggap telah menunaikan tugasnya untuk menabur benih-benih toleransi di dalam sanubari anak.
Permisalan yang paling apik untuk peran orang tua dalam mendidik toleransi kepada anaknya adalah Luqman Al Hakim, Al Quran merekamnya dalam surat Luqman ayat 18-19.
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ ۚ إِنَّ أَنكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
Dan janganlah kamu memalingkan muka dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah Swt tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Dan sederhanakanlah kamu dalam jalan mu, dan lunakkanlah suaramu, karena seburuk-buruknya suara adalah suara keledai.
Luqman As, dalam kedua ayat ini mewasiatkan kepada anaknya bagaimana cara untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Yaitu tidak dengan kesombongan, baik karena ia dalam kebenaran dan lawan bicara salah, ataupun karena martabat ia lebih tinggi daripada kawannya. Dan hendaknya ia berjalan di atas muka bumi ini dengan rendah hati dan tidak membesarkan suara, karena salah satu tanda kesombongan dan keserampangan adalah bicara dengan nada yang tinggi. Al Quran mengambil permisalan yang meninggikan suara di saat berbicara bagaikan suara keledai, yang mana suara keledai amatlah buruk jika didengarkan oleh manusia.
Dalam konteks yang lebih luas Luqman seakan mengajarkan kepada anaknya bahwa dunia ini penuh dengan hal kontradiktif sehingga memaksanya untuk marah dan berbangga atas apa yang diketahui atau dimilikinya. Namun walau bagaimanapun ia tetap meminta anaknya untuk selalu rendah hati dan mencintai lawan bicara. Para ahli tafsir mengatakan maksud dari perkataan wala tusho’ir adalah ‘janganlah kau masamkan muka saat berbicara dengan orang lain.’ Penulis berpendapat bahwa cara yang dipermisalkan oleh Luqman Al Hakim ini adalah potongan dari adab dalam berbeda pendapat dengan orang lain yang dimaksudkan oleh Islam dalam ayat wa jadilhum billati hiya ahsan, yang artinya beretorikalah dengan mereka dengan cara yang terbaik.
Jika rumah telah menjadi sumber nilai toleransi yang baik bagi anak, maka anak dapat melanjutkan dan membawa nilai-nilai tersebut ke ranah sosial yang lebih luas, misalnya sekolah. Di sekolah, dengan arahan guru yang baik dan bekal dari orang tuanya, tentunya sang anak tidak akan kesulitan untuk menjadi pelopor nilai-nilai toleransi bagi teman-teman sebayanya, sebagaimana yang telah diajarkan baik oleh kurikulum sekolah maupun yang dicontohkan gurunya.
Fase keluarga dan sekolah yang cukup panjang ini (kurang lebih 12 tahun) sampai usia dewasa ini diharapkan dapat menjadi kawah condro di muko, atau tempat tempaan yang strategis dan efisien bagi anak. Diharapkan setelahnya, sang anak dapat menjadi generasi masyarakat unggul yang tidak hanya menjadi sosok yang berwawasan, namun juga religius dan pandai berinteraksi dengan sesama manusia dengan menjaga nilai-nilai toleransi. Wallahua’lam bishowab
_
Penulis:
Albi Tisnadi Ramadhan,
Sedang menempuh studi di Universitas Al Azhar, Kairo. Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab.
Editor:
Azman Hamdika Syafaat