Seni merupakan sebuah produk peradaban yang tidak mungkin terlepas dari bangsa apa pun. Peradaban Islam adalah salah satu yang menghargai perkembangan dunia seni. Tanah Arab yang menjadi letak geografis turunnya agama ini juga memiliki ciri khas seni tersendiri. Selain seni tulis yang tertuang dalam bentuk puisi dan prosanya, secara lebih luas karya seni rupa berupa pahatan patung juga eksis berada di sekitaran tempat tersuci bangsa Arab saat itu, Ka’bah. Ragam seni yang memang telah ada sebelum datangnya Islam telah memberikan gambaran tersendiri bagi para ulama dalam menyikapi seni, lantas bagaimana konsep seni dalam Islam?
Prof Syauqi Allam, Mufti Republik Arab Mesir yang saat ini menjabat dalam sebuah wawancara memberikan gambaran yang cukup menarik tentang seni, menurutnya sebagai manusia kita seharusnya mengedepankan sisi positif dalam melihat sesuatu. Beliau melihat apa yang tersedia dalam drama dan sinema di platform televisi misalnya dapat menjadi sebuah “alat” untuk menyebarkan nilai positif. Beliau memberikan contoh tentang sebuah sinetron bertemakan kisah Syeikh Mutawalli Sya’rowy, yang dijuluki sebagai Imam Para Dai dapat memberikan gambaran bagaimana kisah perjalanan hidup yang menginspirasi dan mengesankan.
Tentu pandangan umum ini tidak dapat secara utuh diambil, karena jika melihat realita karya seni kekinian yang miskin akan nilai bahkan condong menjadi sebuah alat propaganda yang jauh dari nilai yang dijunjung oleh agama Islam. Akhir-akhir ini bahkan seorang kepala negara menyatakan bahwa ujaran kebencian berupa karikatur yang notabenenya dapat disebut karya seni sebagai sebuah kebebasan berpendapat. Lantas, bagaimana Islam melihat seni?
Hakikat Seni dalam Islam
Jika merujuk pada pandangan mufti Mesir di atas jelas sekali bahwa beliau melihat seni sebagai sebuah media. Bagaikan pisau yang bisa dibuat untuk memotong sayuran dan bumbu dapur, ia juga dapat digunakan untuk melukai seorang yang tidak bersalah. Dari itu jika seni digunakan untuk media pendidik sebagaimana yang dijelaskan oleh beliau bisa dipastikan ini sesuai dengan panji-panji islam yang menyeru umatnya untuk mengambil pelajaran dari segala apa yang terjadi di kehidupannya, tidak terkecuali dari karya seni seseorang.
Jika melihat dari sudut pandang fikih klasik, seni sebagaimana yang difahami dewasa ini tidak dibahas secara spesifik dalam sebuah karangan, akan tetapi pembahasannya tersebar dalam berbagai macam bab pembahasan. Seperti pembahasan bersyair, alat musik, atau menggambar, perkara-perkara tersebut di pembahasan fikih, namun tidak disebut seni sebagai sebuah karangan tertentu. Hal ini tentu tidak terlepas dari pembahasan fikih sendiri yang secara definitif adalah ilmu yang digunakan untuk mencari detail hukum dari suatu perkara, sementara seni tentunya adalah sebuah padanan kata kini semakin luas pemahamannya.
Sementara menurut pandangan ulama kontemporer, Muhammad Abdul Aziz Marzuq dalam karangannya Al Islam wal Funun Al Jamilah menyatakan Islam dilihat dari konsepnya sebagai agama langit, berbeda pandangan dengan Kristen dan Yahudi. Dia mencatat Bangsa Yahudi menolak penggunaan seni sama sekali karena dapat menodai citra akidah mereka, seperti disebutkan dalam Taurat, Ishah 20, Keluar: “Jangan engkau buat untuk mu sebuah patung yang kau pahat, atau gambar langit yang di atas, atau bumi yang di bawah atau apa yang ada di air dan di bawahnya, janganlah kau sujud ke padanya, dan jangan kau beribadah untuknya, karena aku adalah Tuhan mu, Tuhan Yang amat cemburu.
Akan tetapi setelah masa nabi Sulaiman dan nabi Dawud yang mana keduanya juga merupakan nabi-nabi kaum Israil, peradaban mulai terbentuk, bangsa Yahudi mulai memanfaatkan seni sebagai salah satu pengembang kehidupan. Bahkan tidak jarang mereka meminta bantuan dari bangsa lain dari Mesir atau Yunani. Sementara umat kristiani yang ajaran dasarnya adalah meninggalkan kesenangan dunia dan hiasannya, di mana dengan itu kehidupan seni pada masa berkembangnya agama itu belum begitu terasa. Setelahnya muncul lah peradaban Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw.
Islam sendiri di awal kemunculannya telah bersinggungan langsung dengan “karya seni” kaum animisme yang meyakini bahwa ruh menempati benda mati. Berbagai patung diletakan di sekitar Ka’bah yang dikenal sebagai tempat tersuci bagi mereka. Islam yang membawa risalah ke-esa-an Tuhan tentu tidak mentolerir praktek ini, puncaknya pada peristiwa Fathu Mekkah (Pembebasan Kota Mekkah) seluruh patung di sekitar Ka’bah dihancurkan. Dari sini Islam memandang bahwa hal prinsipil yang berkaitan dengan akidah nyatanya memang tidak dapat diganggu gugat.
Seiring berkembangnya zaman, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Abdul Aziz Marzuq, Islam menggunakan seni sesuai porsinya. Seni yang merupakan representatif keindahan dimanfaatkan untuk menjadi salah satu pilar syiar keagamaan. Di Mesir contohnya, di Negeri Seribu Menara ini masjid-masjid yang dibangun terdiri dari lima bentuk, yang melambangkan peradaban dinasti tertentu; Fathimiyah, Ayubiyah, Mamluk, Turki Usmani dan Mesjid Modern. Setiap masjid memiliki keistimewaan masing-masing baik dari sisi arsitektur maupun hiasan kaligrafi dan ornamen yang meramaikan dekorasi masjid.
Selain itu seni khat, atau karya tulis indah arab menjadi alat untuk menjaga otentitas tulisan Al Quran. Kini seni khat semakin berkembang dengan berbagai variasi dan gaya. Berbagai kompetisi juga diadakan dalam berbagai skala. Ada juga seni musik Islam yang walaupun merupakan ranah perselisihan dari para ahli fikih terkait keabsahan penggunaannya telah memberikan warna tersendiri di dunia musik yang lebih luas.
Baca juga: Mengapa Kita Perlu Menghormati Ulama?
Dengan demikian walau catatan singkat ini tidak dapat membuktikan pandangan seni dalam Islam secara detail dan terperinci, setidaknya mudah-mudahan bisa membuka sudut pandang pembaca bahwa Islam adalah agama yang sejalan dengan seni. Di zaman ini seni sudah menjadi barang yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan umat, seni perlu diselaraskan dan dibimbing dengan nilai-nilai luhur Islam, bahkan di level tertentu seni dapat menjadi sebuah alat penyeimbang gairah anak muda yang semakin tergerus moralnya oleh musik yang tidak mendidik.
Wallahua’lam bishowab
_
Penulis:
Albi Tisnadi Ramadhan,
Sedang menempuh studi di Universitas Al Azhar, Kairo. Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab.
Editor:
Azman Hamdika Syafaat