Siapa yang tidak ingin memiliki kekayaan yang tiada batas? Sayangnya menurut Islam, kekayaan tidak harus berkaitan dengan harta benda, dalam Islam mereka yang hidup biasa saja bisa dibilang kaya hanya dengan mengamalkan qana ah. Qana ah adalah, sebagaimana dikutip oleh Imam Suyuthi, ridha walaupun kurang, tidak mencari yang tiada dan cukup dengan yang ada.
Membahas tentang moral dalam Islam sungguh menarik, satu dengan yang lainnya meski berdekatan tetap ada perbedaan. Misal, Qana ah dengan Zuhud, jika dibandingkan qana ah berarti cukup dan rela walau kurang, sementara zuhud lebih pada tidak membutuhkan hal berlebih meski memiliki, dia akan tetap memilih gaya hidup berkekurangan.
Qana ah adalah cukup dengan kekurangan dan anjuran hidup lebih baik. Apakah ada pertentangan?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, penulis ingin terlebih dahulu menjabarkan dasar sifat qana ah dari Al Quran dan Hadis serta dan kisah inspiratif tentang qana ah. Allah berfirman dalam QS An Nahl 97:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang berbuat amalan kebaikan baik laki-laki atau perempuan dan dia seorang mukmin, maka hidupkan dirinya dengan kehidupan yang baik, dan akan kami berikan balasan lebih baik dari apa yang telah mereka lakukan.”
Imam Ali bin Abi Thalib dan Muhammad bin Ka’b, menafsirkan kalimat “kehidupan yang baik”ini dengan kehidupan qana ah. Ayat di atas juga mengisyaratkan adanya perbuatan (upaya) yang dilakukan seseorang sebelum ber-qana ah, selain itu ia juga perlu beriman pada Allah SWT di atas segala perbuatannya itu.
Jadi dalam hal ini seorang mukmin tetap dianjurkan untuk berbuat maksimal dalam segala pekerjaannya dan disertai dengan keimanan yang utuh sebelum ber-qana ah, yaitu sebelum merasa cukup atas rezeki yang telah Allah SWT berikan padanya. Orang yang qana ah akan merasa cukup, tidak mencari yang tiada, dan bersyukur atas apa yang diberikan oleh Allah SWT.
Dengan demikian sifat qana ah adalah sebuah sikap yang tidak berkaitan dengan kaya/miskin seseorang, ia tidak berkaitan dengan jumlah harta yang dimiliki melainkan jumlah kesyukuran yang dipanjatkan pada Allah SWT atas segala nikmat yang telah dikaruniakan. Abu Hurairah meriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah SWT yang diabadikan oleh Imam Tirmidzi:
مَن يأخذ عني هؤلاء الكلمات فيعمل بهنَّ، أو يعلم من يعمل بهنَّ؟ قلت: أنا يا رسول الله! فأخذ يدي فعدَّ خمسًا، فقال: اتَّقِ المحارم تكن أعبد الناس، وارضَ بما قسم الله لك تكن أغنى الناس، وأحسن إلى جارك تكن مؤمنًا، وأحبَّ للناس ما تحب لنفسك تكن مسلمًا ولا تكثر الضحك؛ فإنَّ كثرة الضحك تميت القلب
“Siapa yang mengambil dariku kata-kata ini kemudian ia mengerjakannya? Atau ia mengajarkan sehingga orang lain mengerjakannya?, Abu Hurairah berkata, ‘aku wahai Rasulullah’ kemudian beliau menyentuh tangan ku dan menghitung hingga 5, ‘jauhilah hal-hal haram kelak kau jadi yang paling menghamba (pada Allah), rela pada apa yang Allah bagi, kelak kau jadi yang terkaya, dan berbuat baiklah pada tetangga mu maka kau akan beriman, dan cintailah manusia seperti engkau mau dicintai oleh mereka maka kau akan menjadi seorang muslim, dan jangan lah perbanyak tertawa, karena sesunguhnya banyak tertawa akan mematikan hati.”
Rasulullah mengutarakan 5 nasehat yang mana di antaranya adalah rela atas apa yang telah Allah berikan yang akan diganjar dengan kekayaan, bahkan orang terkaya. Tentu Rasulullah SAW tidak memaksudkan kakayaan materi, akan tetapi kekayaan hati dan kecukupan materi. Karena hanya dengan merasa cukup dan beryukur maka manusia akan terhindar dari ketamakan dunia dan seisinya.
Bahkan dalam hadis lain, Rasulullah SAW pernah bersabda, “barang siapa yang bangun di pagi harinya dengan badan yang sehat, dan ia memiliki pangan yang cukup untuk hari tersebut, terbebas dari mara bahaya, maka sesungguhnya ia dan penguasa dunia setara.” Kesetaraan disini dimaknai dengan kecukupan untuk melaksanakan hidup dan beribadah serta bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan.
Baca juga: Mengapa Kita Perlu Menghormati Ulama?
Sebagai penutup penulis menyadur sebuah kisah yang telah ramai di masyarakat, tentang seorang guru yang memerintahkan murid-muridnya untuk menuliskan 7 keajaiban dunia. Mayoritas murid menulis:
- Piramida di Mesir
- Taj Mahal
- Grand Canyon
- Terusan Panama
- Empire State Building
- Candi Borobudur
- Tembok Cina
Namun, tampak seorang murid yang sedikit kesulitan untuk menjawab, “Ya ada kesulitan sedikit. Aku tidak bisa menuliskan mana yang harus kudaftarkan. Ada begitu banyak keajaiban.” Guru berkata, “Jika demikian, bacakan kepada ku apa-apa yang telah kau catat, mungkin nanti aku bisa membantumu.”
Sang murid pun menjawab, “baik lah, menurut ku tujuh keajaiban dunia adalah:
- Menyentuh
- Merasakan
- Melihat
- Mendengar
Lalu ia ragu sejenak, dan menambahkan:
- Meraba
- Tertawa
- Dan mencintai
Ruang kelas menjadi sunyi sehingga jarum jatuh pun dapat terdengar. Terkadang memang kita tidak menyadari bahwa seluruh karunia yang telah Allah SWT berikan amat lah banyak, sehingga lupa pada nikmat-nikmat kecil yang telah Dia berikan bahkan sebelum kita berusaha dan meminta.
Meski begitu, kita tetap kurang bersyukur, dan sering kufur. Jangankan untuk qana ah, bahkan untuk cukup atas hal berlebih saja kita masih kesulitan dan mengharap pemberian yang berlebih.
Wallahua’alam bishowab
_
Penulis:
Albi Tisnadi Ramadhan,
Sedang menempuh studi di Universitas Al Azhar, Kairo. Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab.
Editor:
Azman Hamdika Syafaat