Download aplikasi Takwa di Google Play Store

Menyelami Arti Kemerdekaan dari Pembebasan Kota Mekkah

Menyelami Arti Kemerdekaan dari Pembebasan Kota Mekkah

“Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Penggalan pembukaan UUD 1945 ini menyatakan bahwa kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dimaknai sebagai antitesa dari penjajahan, tidak sampai disitu para founding father negara nyatanya memperluas definisi sebuah frasa “karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Penambahan kalimat ini sejatinya adalah sebuah medan tak terhingga luasnya untuk menjabarkan arti kemerdekaan sebuah bangsa.

Kemerdekaan secara luas mengajarkan kepada kita untuk tidak tunduk di bawah pengaruh apa pun, dan segala apa yang diperbuat diharuskan berlandaskan perikemanusiaan dan perikeadilan. Nilai-nilai universalitas seperti di atas nyatanya telah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Alkisah 14 abad lalu, telah muncul di atlas peradaban kemanusiaan seorang yang membawa bangsanya keluar dari pengaruh penjajahan, ia mencerahkan bangsanya untuk kembali pada ilmu, rasionalitas dan ketuhanan, ia juga membawa bangsanya berani menyatakan hal tersebut walau harus berkorban nyawa dan harta bahkan  meninggalkan tanah airnya. Manusia itu adalah nabi besar Muhammad Saw.   

Bagaimana Islam memahami konsep kemerdekaan?

Islam mengenal istilah al fath sebuah istilah yang disadur oleh kaum muslimin dari QS Al Fath, yang bermakna ‘bukaan’ secara bahasa, dan bermakna ‘petunjuk, kemenangan, ampunan dan penguatan’ secara istilah. Surat al Fath adalah surat Madaniah, yaitu surat yang turun di periode kenabian setelah hijrah Rasulullah Saw ke Madinah. Ia diturunkan secara utuh di saat terjadinya sebuah momentum bersejarah umat Islam saat itu yaitu perjanjian Hudaibiyah yang terjadi pada tahun ke 6 H.

Hudaibiyah adalah sebuah tempat berada 22 KM dari kota Mekah menuju Jeddah. Tempat itu menjadi sebuah tonggak sejarah perjanjian antara umat muslim dengan kaum Quraisy, sebuah perjanjian yang dibuat dengan dasar penolakan kaum Quraisy kedatangan kaum muslimin untuk mengerjakan ibadah umroh. Secara garis besar, isi perjanjian itu adalah:

 “Dengan nama Tuhan. Ini perjanjian antara Muhammad dan Suhail bin ‘Amru, perwakilan Quraisy. Tidak ada peperangan dalam jangka waktu sepuluh tahun. Siapapun yang ingin mengikuti Muhammad, diperbolehkan secara bebas. Dan siapapun yang ingin mengikuti Quraisy, diperbolehkan secara bebas. Seorang pemuda, yang masih berayah atau berpenjaga, jika mengikuti Muhammad tanpa izin, maka akan dikembalikan lagi ke ayahnya dan penjaganya. Bila seorang mengikuti Quraisy, maka ia tidak akan dikembalikan. Tahun ini Muhammad akan kembali ke Madinah. Tapi tahun depan, mereka dapat masuk ke Mekkah, untuk melakukan tawaf disana selama tiga hari. Selama tiga hari itu, penduduk Quraisy akan mundur ke bukit-bukit. Mereka haruslah tidak bersenjata saat memasuki Mekkah”

Para ahli tafsir menyebutkan bahwa al fath yang dikenal oleh para sahabat saat itu adalah perjanjian ini. Tidak salah memang karena pada kenyataannya perjanjian ini adalah titik permulaan kemenangan Islam bertolak. Semua diawali dengan pelanggaran perjanjian oleh kaum Quraisy yang kemudian mencapai klimaksnya dengan sebuah peristiwa bersejarah lainnya yaitu peristiwa Fathu Makkah atau pembebasan kota Mekkah pada hari ke 10 bulan Ramadhan tahun 8 H.

Baca juga: Memperkuat Aqidah, Menambah Rasa Kasih Sayang Kepada Sesama

Menariknya, peristiwa pembebasan kota Mekkah ini dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw dan 100  ribu tentara kaum muslimin. Sebuah angka yang besar untuk masa itu. Karena situasi yang semakin tidak terkendali akhirnya para pemimpin kaum Quraisy mengirimkan utusan negosiator untuk menemui nabi Muhammad Saw. namun apa daya, nasi telah menjadi bubur, pengkhianatan atas perjanjian Hudaibiyah telah menjadi alasan kuat bagi Rasulullah Saw untuk meneruskan perjalanan.

Install Takwa App

Singkat cerita, Rasulullah Saw telah berhasil membebaskan kota Mekkah, meruntuhkan berhala-berhala di sekitar ka’bah, dan menghabiskan pemberontak terakhir bisa diamankan oleh panglima Rasulullah saat itu, Khalid bin Walid. Di hadapan para seluruh warga kota Mekkah Rasulullah Saw. berdiri dan berkata “Apa hendaknya yang kalian ketahui tentang apa yang telah aku perbuat?” warga Mekkah menjawab, “engkau adalah saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia.” Rasulullah Saw menjawab, “pergilah kalian adalah orang-orang yang bebas”

Sebuah perenungan menyikapi arti kemerdekaan

Peristiwa pembebasan kota Mekkah dan kota-kota lainnya seperti Mesir oleh Amr Bin Ash, Al Quds oleh Umar bin Khattab dan Konstantinopel oleh Muhammad Al Fatih hendaknya menjadi sarana kita untuk merenungi arti kemerdekaan. Pembebasan kota-kota  yang disebutkan tadi memiliki pola yang hampir mirip. Kondisi pemboikotan warganya dari sejumlah fasilitas, pemerintahan yang menindas, kebebasan berkeyakinan yang dikekang dan sejumlah tekanan lainnya.

Hal tersebut sungguh serupa dengan masa penjajahan yang bangsa Indonesia alami seperti: Penindasan, perampasan, eksploitasi sumber daya, dirampasnya hak milik, ketidak pastian hukum, keterbelakangan pendidikan dlsb. Atas dasar itulah semua saling bahu membahu berusaha untuk mewujudkan kepentingan bersama yaitu merdeka dan terbebas dari penjajahan dan mewujudkan arti kemerdekaan yang sesungguhnya, seperti halnya orang-orang Mekkah yang Rasulullah nyatakan telah terbebas dari segala ikatan yang mengekang mereka.

Untuk itu Allah Swt menegaskan dalam surat Al Fath pada ayat 1-4 bahwa kebebasan dan kemerdakaan itu akan membuka jalan-jalan kemudahan bagi ampunan dan hidayah Allah Swt, juga perlindunan dan ketenangan hati, dan pada akhirnya adalah nilai-nilai keimanan yang semakin bertambah. Maka tugas kita saat ini adalah untuk mengisi kemerdekaan ini dengan perbuatan yang diridhoi oleh Allah Swt seraya terus taat dan memperbaiki kualitas keimanan sehingga kita benar-benar bisa menjadi orang-orang yang bebas seperti warga Mekah saat Fathu Mekah.

_

Penulis:
Albi Tisnadi Ramadhan,
Sedang menempuh studi di Universitas Al Azhar, Kairo. Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab.

Editor:
Azman Hamdika Syafaat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *