Islam adalah agama yang juga mengatur bagaimana seseorang bersikap dalam berbagai situasi, tidak terkecuali dalam keadaan marah. Menurut para ahli, marah adalah emosi yang lahir apabila jiwa tidak mendapatkan suatu pengakuan atau penerimaan yang berhak didapatkan. Dalam diskursus ilmu keislaman sendiri rasulullah SAW sempat memberikan wasiat larangan marah ke pada salah seorang sahabatnya.
Pelarangan itu tentu tidak datang begitu saja, melihat marah dapat datang begitu saja. Ia merupakan sebuah kondisi jiwa yang manusiawi, yang penyebabnya bisa hadir dari dalam maupun luar diri. Bahkan Al Quran merekam bahwa seorang nabi pernah marah atas apa yang dilakukan oleh kaumnya, yaitu nabi Musa AS. Kejadian itu terekam dengan jelas dalam QS Al A’rof 150:
وَلَمَّا رَجَعَ مُوسَىٰ إِلَىٰ قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفًا قَالَ بِئْسَمَا خَلَفْتُمُونِي مِن بَعْدِي ۖ أَعَجِلْتُمْ أَمْرَ رَبِّكُمْ ۖ وَأَلْقَى الْأَلْوَاحَ وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ ۚ قَالَ ابْنَ أُمَّ إِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُونِي وَكَادُوا يَقْتُلُونَنِي فَلَا تُشْمِتْ بِيَ الْأَعْدَاءَ وَلَا تَجْعَلْنِي مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: “Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu? Dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya, Harun berkata: “Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim”
Imam Ath Thobari menjelaskan dalam tafsirnya, bahwa apa yang menimpa pada umat nabi Musa AS telah membuat nabi Musa sangat marah. Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa pada dasarnya larangan marah bukan lah pelarangan secara menyeluruh akan tetapi terdapat adab/tata-cara dan tata kelola jiwa yang Islam tawarkan di saat kemarahan datang menghampiri.
Larangan marah dalam Islam dan cara untuk memahaminya
Dasar larangan marah dalam Islam adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah:
عن أبي هريرة رضي الله عنه، أنَّ رجلًا قال للنبي صلى الله عليه وسلم: أوصني قال:لا تغضب، فردد مرارًا، قال: لا تغضب
“Dari Abu Hurairah RA: sesunggguhnya seseorang telah datang ke pada nabi SAW dan berkata: wasiati aku (nasehati lah aku). Rasul SAW berkata: jangan marah! Beliau mengulanginya berkali-kali, ‘jangan marah!’”
Para ulama yang menjelaskan hadis ini mengatakan bahwa seorang yang telah datang pada Rasulullah ini mengharapkan sebuah wasiat yang terkumpul di dalamnya berbagai kebaikan. Dan ia menyadari bahwa kemampuannya, baik itu untuk mengahafal wasiat dan untuk mengamalkan tidak lah baik. Dari itu ia berharap suatu yang ringkas dan dapat diamalkan dalam kehidupan.
Hadis ini mengandung makna universal meski periwayatannya terkhusus pada seorang sahabat. Namun, tentu kesiapan jiwa setiap hamba nabi Muhammad SAW berbeda-beda. Ada yang baik dalam mengelola rasa marah dan ada pula yang sebaliknya. Dari itu Allah SWT menjelaskan dalam QS Asy Syura, 37 bahwa hendaknya mereka memberikan maaf.
وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ
“Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.”
Baca juga: Penting! Perbaiki Akhlak, Kesuksesan akan Mengikuti
Imam As Sa’di dalam tafsirnya tentang ayat ini menjelaskan, bahwa yang telah memaafkan di saat marah telah berprilaku mulia. Ia telah menjadikan kelembutan sebagai karakternya. Yaitu di saat ia mampu untuk melakukan apapun di saat marah namun ia memilih untuk memaafkan dan tidak membalas perbuatan tersebut kecuali dengan kebaikan.
Rasulullah SAW kembali menekankan hal ini dalam riwayat dari Abu Hurairah oleh Imam Bukhari RA:
وعن أبي هريرة رضي الله عنه، أنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ليس الشَّديد بالصُّرَعة، إنَّما الشَّديد الذي يملك نفسه عند الغَضَب
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW berkata: “bukan lah orang yang perkasa yang perkasa dalam perkelahian, akan tetapi yang perkasa dalam menahan diri di saat marah.”
Walllahua’lam bishwowab
_
Penulis:
Albi Tisnadi Ramadhan,
Sedang menempuh studi di Universitas Al Azhar, Kairo. Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab.
Editor:
Azman Hamdika Syafaat