Download aplikasi Takwa di Google Play Store

Kalam, Memahami Kalamullah dari Perspektif Ahlus Sunnah

Kalam, Memahami Kalamullah dari Perspektif Ahlus Sunnah

Pada abad ke tiga hijriah umat Islam didera sebuah ujian yang sama sekali belum pernah dialami. Bukan dari luar, ujian ini justru berasal dari dalam umat Islam sendiri tepatnya dari sebuah kelompok yang menamakan diri mereka dengan Muktazilah. Singkatnya, mereka meyakini bahwa Al Quran adalah makhluk ciptaan Allah dan bukan kalam-Nya sebagaimana telah mapan difahami secara konsensus oleh para ulama dari kalangan sahabat dan tabiin. Pembahasan kalam ini pada akhirnya menjadi sebuah tema paling substansial dalam kajian akidah umat Islam.

Kalangan ulama ahlus sunnah wal jamaah meyakini bahwa Allah Swt memiliki sifat kalam, yaitu sebuah sifat yang qadim, ada bersama dzat Allah Swt, berkaitan dengan suatu hal wajib, mungkin dan mustahil dalam kaitannya sebagai penanda. Lawan dari sifat ini adalah bisu, bisu adalah sebuah aib bagi manusia dan tentunya hal yang mustahil bagi Allah Swt. Salah satu bukti bahwa Allah Swt bersifat kalam adalah diturunkannya Al Quran yang merupakan representasi dari berbagai hal yang disampaikan kepada manusia sebagai pedoman kehidupan dan jalan keselamatan.

Sifat ini tercantum dalam Al Quran dengan eksplisit di antaranya adalah QS An Nisa 164: وكلم الله موسى تكليما “Dan Allah berbicara pada Musa sebuah perbincangan”, dan Qs Asy Syura 51: وما كان لبشر أن يكلمه الله إلا وحيا أو من وراء حجاب أو يرسل رسولا فيوحي بإذنه ما يشاء  “dan tiada seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantara wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”

Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah memahami Kalam Allah Swt

Di awal sedikit disinggung perdebatan antara ahlus sunnah dan muktazilah terkait Al Quran, apakah ia kalamullah atau makhluk Allah Swt yang diciptakan. Pendapat muktazilah ini didasari wujud Al Quran sendiri yang secara materi terdiri dari huruf, kalimat, awalan dan akhiran, dengan kertas atau apapun yang menjadi alas tulisnya. Tentu yang disebutkan tadi adalah hal yang diciptakan. Namun ternyata perkara tidak seringan yang terlihat, ulama kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah membagi Kalam menjadi dua: kalam nafsi dan kalam lafzhi.

Kalam nafsi adalah kalam hakikat yang terlepas dari unsur suara, huruf atau kertas sebagai penanda. Akan tetapi kalam ini adalah sebuah sifat azali yang ada bersama Allah Swt yang terbebas dari sifat diam dan aib seperti gagu dan gagap atau penyakit wicara lainnya. Kalam ini bersifat qadim, atau tiada berawal, karena segala sifat Allah tidak diperkenankan untuk disisipi perkara hawadis (berubah-ubah). Sifat ini tidak terkait pada waktu, tempat atau kaum tertentu, dan bisa saja berbentu isyarat, tulisan dan perkara lainnya sebagai penanda. Kalam Allah adalah sebuah gambaran dari ilmu-Nya, maka dari itu ia tidak lah terbatas seperti ilmu-Nya yang tiada batasannya.

Sementara kalam lafzhi adalah kalam yang terbentuk dari huruf dan suara. Di titik ini  maka Al Quran dan kitab-kitab lainnya yang telah diturunkan sebelum Al Quran seperti Taurat dan Injil, boleh disebut sebagai makhluk. Akan tetapi walau bagaimananpu Al Quran dari sisi kalam nafsi maka hal itu tidak disematkan bahwa ia makhluk. Dan  para ulama juga tidak memperkenankan untuk menyebut Al Quran sebagai makhluk kecuali dalam kondisi pembelajaran. Sejarah mencatat banyak ulama besar semacam Imam Ahmad bin Hanbal, Asy Sya’bi, Isa bin Dinar yang turut tertimpa ujian dari perkara ini.

Kalam merupakan sifat terakhir dari tujuh sifat ma’any yaitu Qudrah, iradah, ilmun, hayyun, sama’, bashar dan kalam. Sifat-sifat ini dinafikan oleh kalangan muktazilah, karena mereka meyakini bahwa sifat-sifat ini tidak lah terlepas dari dzat Allah Swt yang satu. Mereka menafikan dzat Allah yang jamak dengan sifat-sifat tersebut. Berbeda dengan kalangan ulama ahlus sunnah, mereka meyakini bahwa Allah adalah satu dzat dengan beraneka sifat, dan sifat-sifat ini bukanlah dzat-Nya melainkan sifat yang lazim berada bersama dzat-Nya.

Install Takwa App

Baca juga: Baqa, Tiada yang Kekal Selain Dia

Sampai saat ini diskursus tentang tema ini terus menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi dalam spesialisasi theologi Islam. Diktat-diktat perkuliahan juga terus membahasnya sebagai bentuk upaya untuk memperkaya khazanah keilmuan. Namun tidak jarang pula banyak terlampau jauh memikirkan tentang dzat Allah Swt dengan tanpa sadar melupakan esensi dari ilmu ini yaitu untuk membentengi akidah serta menambah keimanan ke pada Allah Swt. semoga kita senantiasa diberikan perlindungan dari akidah yang sesat.

Amin ya rabbal’alamin.

_

 

Penulis:

Albi Tisnadi Ramadhan,

Sedang menempuh studi di Universitas Al Azhar, Kairo. Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab.

 

Editor:

Azman Hamdika Syafaat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *