Kata Baqa merupakan padanan kata bahasa Arab yang secara bahasa dapat diartikan tetap. Tidak jauh dari pengertian secara bahasa, dalam ranah ilmu akidah para ulama mendefinisikan sifat baqa dengan ketiadaan akhir atas wujud-Nya. Berbeda dengan makhluk yang Dia ciptakan yang selalu memiliki akhir, Dia kekal, tidak terbatas pada ruang waktu, bahkan waktu sendiri adalah ciptaan-Nya yang dibuat demi kemudahan dan manusia.
Allah Swt berfirman dalam QS Ar Rahman
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ (26) وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ (27)
“Setiap yang berada di atasnya akan musnah dan tetap kekal Dzat Tuhan mu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan”
Dalam kesehariannya, manusia kerap melihat bagaimana suatu makhluk ada lantas tiada. Proses ini terus berulang setiap detiknya, binatang peliharaan, hewan-hewan yang dimanfaatkan dagingnya, tumbuhan-tumbuhan yang menjadi sayuran di atas meja makan serta berbagai peristiwa kematian silih berganti menjadi kejadian yang hampir lumrah dapat disaksikan di keseharian.
Tentunya yang memiliki akal sehat dan mencoba menyelami peristiwa tadi akan berfikir bahwa jagat raya ini, yang merupakan sebuah benda terbesar yang dapat ditelaah manusia juga pada akhirnya tentu akan berakhir. Maka pertanyaannya kemana semua akan berakhir, dan apalah akhir dari cerita kehidupan ini? Di sana lah iman berbicara dan menentukan arah, Dia-lah Allah Swt satu-satunya yang kekal dan menyatakan bahwa semuanya akan kembali ke pada-Nya.
فَسُبْحَانَ الَّذِي بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
Bagaimana akal dapat mencerna sifat Baqa?
Para ulama akidah menyatakan, jika Allah Swt tidak lah kekal, maka Dia pasti fana, dan akan binasa. Dan apabila Dia akan binasa maka ia adalah suatu yang hadis (membutuhkan dzat yang menciptakan) begitu seterusnya hingga sesuatu yang mencipta butuh pencipta lainnya, hingga tiada akhir. Dari sinilah dapat dinyatakan bahwa Allah Swt kekal dan abadi.
Meskipun sifat Baqa ini secara zahir sulit untuk difahami, tidak seperti Dia Sang Penyayang, dan Dia Sang Pemberi rizki, yang mana hasilnya dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh manusia. Untuk menjawabnya mari kita ungkap sebuah kisah tentang Einsten dan seorang jurnalis di dalam sebuah perpustakaan. Sang jurnalis berkata, “apakah engkau mempercayai Tuhan? Bukan kan perkara keyakinan adalah perkara immateril dan tidak dapat diuji coba oleh ilmu modern?”
Einsten menjawab, “lihat lah ke ruangan ini dengan jutaan buku di dalamnya, bukan kah setiap buku itu memiliki penulis?” Sang jurnalis mengiyakan, “lantas apabila seorang anak kecil memasuki perpustakaan ini apakah dia mengetahui ilmu dan pengetahuan yang terkandung di dalam buku-buku itu?” Einsten melanjutkan. Jurnalis tentu mengatakan tidak. “lantas ketidak tahuan anak kecil atas buku dan siapa penulisnya apakah menjadi sebuah bukti ilmiah ketiadaan buku dan para penulisnya?” tentu sang jurnalis mengatakan tidak.
Sampai di sini tentu sang jurnalis akan terdiam, dan dengan sendirinya menyimpulkan ketiadaan pengetahuan tentang hakikat pencipta jagat raya dan seisinya yang masuk di dalamnya bumi, tidak lah menjadi bukti yang orisinil ketiadaan sang Pencipta. Maka dari itu akal yang datar dan tidak dapat menjangkau hakikat pencipta jagat raya ini tidak dapat menjadi pembenar sedikitpun ketiadaan Dia Sang Maha Segala yang telah mengatur bumi ini dengan sedemikian rupa sehingga ia layak untuk dihuni.
Wallahua’lam bishowab
_
Penulis:
Albi Tisnadi Ramadhan,
Sedang menempuh studi di Universitas Al Azhar, Kairo. Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab.
Editor:
Azman Hamdika Syafaat