Melihat pertanyaan di atas dan di era penyebaran informasi yang cenderung destruktif tidak jarang seorang muslim terkecoh. Bukan karena tidak memahami jawabannya, akan tetapi lebih kembali mempertanyakan esensi pemerintahan itu sendiri bagi seorang muslim. Pasalnya pemerintahan sendiri bukan lah hal asing di dunia Islam, sejak awal nabi tiba di Madinah setelah hijrah dari kota asalnya, Mekah, pemerintahan secara langsung telah dijalankan oleh Rasul SAW. Lantas apakah perlu mempertanyakan kembali bagaimana sikap muslim tentang peraturan pemerintah?
Sayangnya, hal itu kiranya perlu kembali diulang kembali, terlebih di saat pemerintah sedang didera kesulitan untuk menahan laju penyebaran virus Covid 19 yang telah menjadi pandemi ini. Berbagai regulasi dalam bentuk peraturan pemerintah dibuat untuk menahan laju lonjakan pasien Covid. Pemberlakuan 3M, pembentukan Satgas Covid, Pembatasan mobilitas seperti PSBB atau PPKM Darurat semua dilakukan demi melalui bencana dunia ini.Namun sayangnya tidak sedikit yang justru acuh dan bahkan memberontak melawan peraturan tersebut tanpa mempedulikan dampak yang akan terjadi.
Dalam catatan singkat ini tentu penulis tidak ingin mengomentari keseluruhan dari berbagai peraturan yang memang dibuat oleh pemerintah Indonesia, karena pro kontra kebijakan tersebut memang terjadi di lapangan. Namun, kiranya perlu kembali adanya sebuah pengingat bahwa sebagai rakyat, yang berada di bawah konstitusi sebuah negara, mematuhi dan menjalankan peraturan pemerintah hukum asalnya adalah wajib.
Dasar hukum mematuhi peraturan pemerintah
Terkait landasan hukum kepatuhan pada pemerintah sebagian besar para ulama mencatut QS An Nisa, 59:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Tentang ayat ini banyak dari kalangan mufassir yang mengartikan ulil amr sebagai pemimpin, raja, wali, atau yang mewakilinya. Dan derajat penyandingannya setelah Allah dan Rasul-Nya menandakan urgensi posisi mereka dalam kehidupan manusia.
Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan: “ayat ini ditujukan untuk para wali dan amir (raja), dan masuk ke dalamnya seluruh makhluk dalam melaksanakan amanah. Rasul SAW berkata: Orang-orang yang adil pada hari kiamat berada di atas mimbar dari cahaya yang berasal dari keberkahan Allah, dan kedua tangannya itu adalah keberkahan atas keadilan hukum mereka atas keluarga dan yang rakyat yang diemban.”
Selanjutnya, Imam Ibnu Asyur, seorang mufassir kontemporer dari Tunisia mengatakan, “saat Allah SWT menghimbau agar berbuat adil dalam memerintah, diteruskan dengan perintah untuk mentaati para pemangku kebijakan dan para wali, karena kataatan bagi mereka adalah sebuah tampilan wibawa keadilan dari para pemimpin mereka.”
Bahkan Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya banyak mengutip hadis-hadis Rasulullah SAW berkenaan dengan ketaatan terhadap peraturan pemerintah dan juga para pemimpin.
وَعَنْ أُمِّ الْحُصَيْنِ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ يَقُولُ: «وَلَوِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبَدٌ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ، اسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا» رَوَاهُ مُسْلِمٌ،
“Dari Ummul Hushoin bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW berkhutbah di haji wada’ andaikan kalian diperintah oleh seorang hamba yang memimpin kalian dengan kitabullah (Al Quran) maka dengarkan lah dan taatiilah (HR Muslim).”
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «سَيَلِيكُمْ بَعْدِي وُلَاةٌ، فيليكم البرّ ببره والفاجر بِفُجُورِهِ، فَاسْمَعُوا لَهُمْ وَأَطِيعُوا فِي كُلِّ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَصَلُّوا وَرَاءَهُمْ فَإِنْ أَحْسَنُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أَسَاؤُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِم
“Dari Abu Hurairah RA, bahwasanya nabi SAW berkata, kalian selanjutnya akan dipimpin oleh orang baik dengan kebaikannya dan orang jahat dengan kejahatannya. Maka dengarkan lah dan taatilah dalam setiap apa yang sesuai degnan kebenaran. Dan shalat lah di belakang mereka apabila mereka berbuat baik maka kalian dapatkan (kebaikan) dan apabila mereka berbuat buruk maka kalian dapatkan (keburukan) dan mereka akan diganjar.”
Baca juga: Hisab, Hari Perhitungan Manusia Kelak Pada Hari Kiamat
Dan masih banyak lagi ayat Al Quran dan hadis nabi yang bernada serupa, menghimbau agar para rakyat untuk mematuhi perintah dari para pemimpinnya selama berada dalam kebaikan. Penekanan untuk perintah kebaikan ini layaknya menjadi rambu-rambu bersama bagi setiap muslim agar tidak terpengaruh pada seruan atau prasangka buruk yang dapat mengacaukan suasana. Sehingga akan berdampak pada kondisi negeri yang tidak terkendali.
Satu hal yang perlu ditekankan adalah jikalau para pemimpin tidak menghimbau untuk berbuat buruk, apalagi bermaksiat pada Allah, maka wajib bagi rakyat untuk mematuhi dan menjalankan peraturan. Namun, perlu digaris bawahi, bahwa segala hal yang berkaitan dengan kepemimpinan pasti akan dipertanggungjawabkan di hadapan sang Khalik. Maka segala bentuk kezaliman, kesewenang-wenangan terhadap rakyat akan ada catatannya di hari akhir.
Wallahua’lam bishawab
_
Penulis:
Albi Tisnadi Ramadhan,
Sedang menempuh studi di Universitas Al Azhar, Kairo. Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab.
Editor:
Azman Hamdika Syafaat